Pages

Ads 468x60px

Tuesday, 7 August 2012

BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH


BIODATA
            
Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.  Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.

            Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan.  Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan.  Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865,  saat ia baru berusia 16 tahun.

            Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an.  Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya.  Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.

            Walaupun sudah kawin, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar.  Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali.  Maka ia lari ke desa Syibral Khit − tempat di mana banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal.  Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur'an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah.  Pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh sang paman. Ia berhasil merubah pandangan pemuda ini dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi menggemarinya. 

            Beliau sempat kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, kemudian menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866.  Di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, di antaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu; Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.

            Ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, tahun 1871,  kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri  pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan olehnya.  Hubungan ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir, kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela ajaran-ajaran Islam. 

            Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada kepribadian Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-'Aridat (1837), disusul kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah(1875).  Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.

            Di samping itu, Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram, Kairo.  Melalui media ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan "Syaikh al-Azhar", Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M).

            Setelah lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang Lc.), ia mengabdikan diri pada al-Azhar dengan mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia mengajar pula kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan Eropa.
Pada tahun 1878, ia diangkat sebagai Pengajar Sejarah pada sekolah Dar al-'Ulum (yang kemudian menjadi fakultas) dan ilmu-ilmu bahasa Arab pada Madrasah Al-Idarah Wal Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa).
            Pada tahun 1879, Muhammad Abduh diberhentikan dari dua sekolah yang disebut terakhir dan diasingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir), berbarengan dengan terjadinya pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir.  Akan tetapi, dengan terjadinya perubahan Kabinet pada 1880, beliau dibebaskan kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah,Al-Waqa'i al-Mishriyah.  Surat kabar ini, oleh Muhammad Abduh dan kawan-kawan bekas murid Al-Afghani, dijadikan media untuk mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang.
            Setelah Revolusi Urabi tahun 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa'i,dituduh terlibat dalam revolusi tersebut, sehingga  pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya memilih tempat pengasingan, dan ia memilih Suriah.
            Di Negara ini Muhammad Abduh menetap selama setahun.  Kemudian ia menyusul gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, yang ketika itu berada di Paris.  Di sana mereka berdua menerbitkan surat kabar Al-'Urwah al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.
            Tahun 1884 Muhammad Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1885 Muhammad Abduh meninggalkan Paris menuju ke Beirut (Libanon) dan mengajar di sana sambil mengarang beberapa kitab, antara lain:
1.   Risalah at-Tauhid (dalam bidang teologi);
2.   Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib);
3.   Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan); dan
4.   Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut bahasa dan sastra Arab).
            Di Beirut, aktivitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja, tetapi bersama beberapa tokoh agama lain mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama.  Organisasi ini telah membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang mengangkat ajaran Islam secara objektif pada media massa di Inggris, padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat.  Namun, organisasi ini dan aktivitas anggota-anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di Beirut mempunyai tujuan-tujuan politik, sehingga penguasa tersebut mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh dan diminta segera kembali ke Mesir.
            Pada 1888, Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha.  Walaupun ketika itu Muhammad Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir agaknya sengaja merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada putera-puteri Mesir.
            Terakhir, ia ditugaskan di Pengadilan Abidin, Kairo. Kemudian, pada 1899 ia diangkat menjadi Mufti Kerajaan Mesir dan pada tahun yang sama Muhammad Abduh juga menjabat sebagai anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir, seksi perundang-undangan.
            Pada tahun 1905, Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide ini mendapat respon yang begitu antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut.  Namun sayang, universitas yang dicita-citakan ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi "Universitas Kairo".
            Pada  tanggal 11 Juli 1905, saat masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka di antaranya sekian banyak tokoh non-Muslim.
            Selain yang telah disebutkan di atas, selama hidupnya beliau juga melahirkan beberapa karya lain,  yaitu:
1.   Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan oleh Rasyid Ridha);
2.  Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat;
3.   Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat.
            Syekh Muhammad Abduh menggerakkan dan mempelopori kebangkitan intelektual pada paruh kedua abad ke–9. Kebangkitan dan reformasi dipusatkan pada gerakan kebangkitan, kesadaran, dan pemahaman Islam secara komprehensif, serta penyembuhan agama dari berbagai problem yang muncul di tengah-tengah masyarakat modern.
            Ada dua fokus utama pemikiran tokoh pembaharu Mesir ini; Pertama, membebaskan umat dari taqlid dengan berupaya memahami agama langsung dari sumbernya – al-Qur’an dan Sunnah – sebagaimana dipahami oleh ulama salaf sebelum berselisih (generasi Sahabat dan Tabi’in). Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele, yang dipenuhi oleh kaidah-kaidah kebahasaan yang sulit  dimengerti. Kedua fokus tersebut ditemukan dengan sangat jelas dalam karya-karya Abduh di bidang tafsir.
            (Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi;  kitab Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha; kitab ‘Ulum al-Qur’ankarya Ahmad Von Denffer; tulisan Syekh Muhammad Abduh & Karya Tafsirnya(Pengantar “Tafsir Juz ‘Amma Muhamad ‘Abduh”) karya M. Quraish Shihab, terj. Muhammad Bagir).

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

            Muhammad bin Abduh bin Hasan dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Al-Buhairoh, Mesir pada tahun 1849 M. Dia murid kesayangan Jamaluddin Al-Afghani. Dia wafat pada tahun 1905.
A. Aqal dan Wahyu
            Menurut DR. M. Quraisy Syihab dalam Studi Kritis Tafsir Al-Manar terbitan Pustaka Hidayah tahun 1994 halaman 19, ada dua pemikiran pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Muhammad Abduh, yaitu:
1. Membebaskan aqal fikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haqnya salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits. [Wajarlah jika para pengikutnya beranggapan bahwa setiap orang boleh berijtihad, admin]
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan di media massa. [Hal ini juga merupakan salah satu point yang ditekankan Hasan Al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan Al-Manarnya, admin.]
            Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat itu dapat digambarkan sebagai, “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan aqal dalam memahami syari’at Allah atau mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan aqal (jumud), serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.” [Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hal. 19]
            Lihatlah bagaimana Sayyid Qutub menilai para ulama shalih. Lihatlah bagaimana dia mengedepankan aqal dan mengajak ummat pada umumnya untuk berijtihad. Padahal tidak semua orang punya kapasitas sebagai mujtahid. Bahkan tidak semua ulama dan santri mencapai derajat mujtahid. Pemikiran keliru yang mengajak ummat untuk berijtihad atas nama kebebasan berfikir ini telah diterima sebagian pemuda yang umumnya lemah aqal. Dan tentu saja pemikiran menyimpang seperti ini sangatlah berbahaya dan menyesatkan.
            Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada aqal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada aqal daripada Mu’tazilah. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 57]
Menurut Muhammad Abduh, aqal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:

1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan      kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan.
5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.
6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

            Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan aqal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi aqal manusia. Wahyu, katanya, menolong aqal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan aqal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta bersyukur kepada Tuhan. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 58-61]
            Dengan demikian, wahyu bagi Muhammad Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan aqal dan informasi. Lebih jauh, Muhammad Abduh memandang bahwa menggunakan aqal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada aqal. Islam, katanya, adalah agama yang pertama kali ‘mempersaudarakan’ antara aqal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan aqal. Kemudian dia beranggapan bahwa wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan aqal. Kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi, sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
B. Kebebasan Manusia
       Dalam paham Ahlus Sunnah, manusia bebas untuk memilih, namun Allah yang menciptakan/mewujudkan perbuatan manusia. Ada pun dalam paham Mu’tazilah dan Qodariyah, manusia bebas untuk memilih dan manusia pula yang mewujudkan perbuatannya. Lalu bagaimana dengan Muhammad Abduh? Apakah ia cenderung kepada Ahlus Sunnah, atau justeru cenderung kepada Mu’tazilah?
            Bagi Muhamamd abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 65] Sungguh mirip paham mu’tazilah.
            Karena yaqin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 75 dan 77]
            Muhammad Abduh sefaham dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 80]

Oleh: Fery Efendi disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan Di PUTM

No comments:

Post a Comment